Yo!
Pagi hari yang mendung, mood turun, bahkan yang biasanya melek ambil laptop trus do something aja rasanya malas-malasan. Tapi akhirnya, setelah beberapa teguk teh hangat Tong Tji - bakal kangen banget ama ini teh sih, akhirnya jadi kepikiran buat nulis alasan kenapa gue milih untuk ambil master di Chalmers. Dan kalau ditanya langsung kenapa lo milih Swedia, kenapa lo milih Chalmers, kenapa sih why oh why, ternyata jujur bingung juga jawabnya. Tapi coba gue runutin dari awal mula cerita semua ini huhu.
Gue orang yang spontan, ga banyak mikir dan kadang kalau disuruh mikir plus minus dari opsi-opsi yang harus diambil, kadang ga pake lama dan boom, tiba-tiba udah disini aja. Semacam greedy algorithm person, dari sekian opsi, kira-kira mana yang terbaik ya ambil ga pake pusing, hasil nantinya ya buat dipikir nanti. Ini persis ketika gue abis lulus S1, Juli 2015, dengan status fresh graduate yang bingung minat gue apa sih. Sebagai alumni electrical engineering, jujur sih agak merasa pengalaman kerja selama kerja praktek dua tahun sebelumnya kurang sesuai ekspektasi. Tapi yah, daripada ga kerja (inget gue udah lulus telat setahun), gue ditawarin kerja ama temen, sebut namanya Albert, buat gantiin posisi doi di salah satu lab di kampus. Tanpa pikir panjang, ambil deh peluang ini dan rencananya kerja bareng dosen di lab sampe ada job fair gede dimana gue bisa kompetisi bareng yang lain.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, satu dua tiga career day lewat dan ga daftar apa apa sama sekali. Ga kerasa udah 2 tahun lamanya kerja di lab. Dan ga kerasa juga, 2 tahun cukup banyak yang gue dapet. Awalnya dari sosok airhead boy, yang ga tau apa itu debugging, sampe akhirnya CV lumayan nambah sehalaman berkat proyekan dan juga beberapa publikasi. Jatuh bangun sih emang kondisi kerjanya, mulai dari lab kecil, hingga spin out jadi startup dan akhirnya kita berpenghasilan tetap juga hehehoho. Beberapa temen lab yang lain juga udah nyebar kemana-mana, dari Eropa, Jepang, Singapore dan lain lain. Akhirnya, setelah 2 tahun, gue mulai introspeksi dan mulai berpikir buat nyusul mereka dengan ngambil S2.
Ga pernah merasa pinter dan bisa stand out, penyakit lama dan kadang memang benar adanya. Setelah fokus ingin ambil S2, selalu minder setelah melirik edukasi di negara barat seperti Eropa atau US. Tapi, selalu semua berawal dari mimpi dan perwujudan selalu dari the first step, test IELTS. Aaaa, ga pernah ngomong bahasa Inggris reguler sebelunya, sampe akhirnya diharuskan ngomong di bimbingan kebut seminggu Gratia, Bandung. Initial test cuman dapet overall band 5.5 dan cuman punya seminggu sebelum test. What could go wrong? Tapi akhirnya, hasil lumayan memuaskan dan hasilnya bisa digunakan untuk daftar ke Eropahhh.
Perjuangan untuk daftar S2 dimulai ketika salah satu dosen di lab, mendatangi kita untuk ikut konferensi di Bali. Di Bali kita bertemu dengan beberapa dosen dari Korea, Jepang dan beberapa negara di Asia. Ketika itu, ada dosen dari Seoultech yang nawarin kita dan akhirnya daftar dan keterima! Dilema pertama dalam masa-masa itu. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya merasa bahwa peluang tidak datang dua kali, dan awalnya niat sudah bulat untuk lanjut, sampai akhirnya temen yang namanya Yoka, tiba-tiba datang entah darimana dan ngajak Skype. BTW, dia lagi di Jerman buat lanjut bimbel Deutsch. Petualangan dimulai dari percakapan kita di Skype.
(Berlanjut…)